Skip to main content

(Tidak) Cukup Seratus Dua Puluh Hari Saja!

Hembusan udara pagi menyapa langkah kaki pertamaku saat aku turun dari kereta yang mengantarkanku dari stasiun ibu kota menuju stasiun di kota yang, selama ini, aku hanya bisa lihat di dalam video. Aku melihat kanan kiri, membiasakan pandanganku pada kota yang akan aku jadikan tempat aku belajar dan tinggal selama dua tahun kedepan.

Aku berjalan menuju pintu keluar stasiun, dan aku dapati senyuman para supir taksi dan pengendara ojek. “Ah, sudah biasa. Mereka pasti akan bersikap ramah terhadap bakal penumpangnya” gumamku dalam hati saat melihat semua dari mereka melemparkan senyum ke arahku. Aku berjalan ke arah seorang lelaki yang kutaksir berumur lebih dari 40 tahun yang tersenyum lebar ke arahku. Bukan karena senyumannya aku memilihnya, tapi karena aku tidak terbiasa dan tidak mau terbiasa untuk melakukan tawar-menawar jika ingin membeli barang atau menggunakan jasa. Hal yang terkadang membuat ibu ku sedikit heran karena aku akan membayar berapapun harga yang ditawarkan.
 
Yogyakarta atau Jogja dengan motonya "Berhati Nyaman" menawarkan keunikan budaya dan kenyamanan kotanya via https://www.pinterest.com
Semilir angin pagi dan lenggangnya jalan menyambutku saat motor yang kunaiki mulai menyentuh hitamnya aspal kota ini. Bapak pengendara ojek pun mulai menanyaiku dengan pertanyaan klasik seperti “Mau jalan-jalan ya ke Jogja?”, “Baru pertama kali ya ke Jogja?”, “O, mau kuliah, kuliah di mana?”. Aku agak malas untuk menjawab pertanyaan pertama yang diajukan karena rasa lelah yang menghampiri tubuhku setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih delapan jam. Tetapi, sikap ramah yang ditawarkan saat mengajukan pertanyaan membuatku sungkan untuk tidak menjawab. Dan ahirnya kami pun terlibat percakapan selama perjalanan.
Roda motor mulai menelusuri sebuah gang yang terletak tidak jauh dari perempatan yang masyarakat sekitar sebut dengan nama perempatan Monjali (Monumen Jogja Kembali). Aku sibuk melihat layar ponselku, mencocokan nomor rumah yang malam sebelumnya di-sms­ kan oleh ibu kost. Aku menemukan nomor rumah yang sama setelah beberapa saat. Sayangnya, pintu gerbang rumah tersebut tertutup. 

Aku pun turun dari motor yang mengantarkanku. Setelah membayar sejumlah uang yang sudah kita sepakati sebelumnya dan juga mengembalikan helm yang ku pakai, aku pun berjalan menjauh sambil sesekali menghubungi nomor ibu kost yang terhubung tetapi tidak dijawab. Bapak tadi mendekatiku, aku berpikir kalau ongkosku kurang. Tetapi jawaban yang ia berikan ketika aku utarkan pertanyaan kenapa dia mendekatiku sungguh membuat ku tercengang “Sudah, bapak tungguin sampai yang punya kostan keluar”.Bagaimana mungkin bapak ini mau membuang waktunya menunggu ibu kost. Padahal bisa saja ia kembali ke stasiun kereta dan mendapatkan penumpang baru” gumamku. Lima belas menit berlalu ketika ahirnya ibu kost membuka pintu pagar rumah. Aku pun masuk mengikuti pemilik kost tersebut sambil tak lupa kucapkan “terimakasih banyak” kepada bapak ojek yang mengantarkanku dan menemaniku menunggu ibu kost.

Itu pengalaman pertama yang membuatku terpana akan kota Yogyakarta. Selain itu, banyak hal-hal lain yang membuatku semakin tercengang, bukan karena hal-hal buruk tapi lebih karena keunikan dan kekhasan kota yang pernah menjadi ibu kota Indonesia ini. 

Masih terbesit di ingatanku, hari itu hari Kamis dan aku menunggu bus Transjogja yang akan mengantarkan ke kampus nomor wahid di kota pelajar ini. Aku telah terbiasa menaiki armada yang memiliki moto “Ayo Naik Bus” ini kemana pun aku berpergian di Jogja. Selain tarif yang sangat murah, bus ini juga akan mengantarkan ku berkeliling kota Yogyakarta sebelum ahirnya berhenti di halte Koperasi Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. 

Jam pada layar ponselku menunjukan pukul 05:58 WIB dan dari kejauhan aku sudah melihat bus berwarna biru. Bus tersebut berhenti tepat di halte. Pandanganku terarah kearah supir dan kondektur Transjogja ketika aku menaiki bust tersebut. Mereka memakai pakaian adat Jawa. “Ah mungkin hari ini hari ulang tahun Transjogja atau hari Kartini” (Padahal saat itu bulan September). Bus pun melaju melalui rute yang telah ditentukan. Tak ada penumpang yang naik sampai halte Malioboro 1. Sampai ahirnya di halte Malioboro 3, sejumlah siswa menaiki bus. Lagi-lagi diriku ini dibuat terheran-heran karena murid-murid tersebut juga memakai pakaian adat Jawa. Dan di halte-halte selanjutnya pun banyak ibu-ibu pekerja yang aku taksir adalah guru sekolah memakai pakaian adat Jawa juga.

Tak kuat menahan rasa penasaran, aku pun mengeluarkan poselku dan mencari informasi mengenai apa yang aku lihat di internet. Dari internet aku mendapatkan bahwa setiap hari Kamis Pahing seluruh pelajar dan PNS Yogyakarta wajib memakai pakaian daerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa haru menyelimuti diriku, rasa haru dan bangga tepatnya. Aku terharu melihat bagaimana masyarakat Jogja berusaha untuk menjaga keaslian budayanya dan rasa bangga karena aku bisa menjadi saksi langsung akan usaha tersebut.
 
Setiap Kamis Pahing, semua pelajar dan PNS Yogyakarta wajib mengenakan pakaian adat via http://www.satuharapan.com
Sangat banyak sebenarnya hal yang membuat ku kagum akan kota ini. Mulai dari sikap masyarakatnya seperti: bagaimana mahasiswa di kota ini sangat menghormati dosennya, bagaimana masyarakat ini yang hampir tidak pernah tidak melemparkan senyuman saat bertatap muka, ataupun bagaimana fasilitas yang kota ini tawarkan seperti tersedianya fasilitas perpustakaan kota yang tidak pernah sepi pengunjung karena nyamannya tempat membaca dan tersedianya koneksi internet, banyaknya monumen bersejarah yang terawat dan tak luput dari kunjungan wisatawan, dan juga tertatanya sistem tranportasi yang lebih baik dibandingkan dengan beberapa kota lain di Indonesia. Aku sangat jarang melihat angkutan kota (angkot) di kota ini, dan mungkin karena alasan itu pulalah kemacetan sangat jarang terjadi di sini. Atapun kalau ada hanya di beberapa titik saja dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja seperti waktu pulang kantor. 

Ingin rasanya aku berlama-lama tinggal di kota ini. Akun yang awalnya berencana untuk tinggal selama dua tahun, harus membatalkan rencana tersebut karena aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke negara lain yang mengharuskan ku untuk tidak melanjutkan pendidikan di kota ini. Kisah ku di kita gudeg ini hanya cukup ku ukir tidak lebih dari tiga bulan atau seratus dua puluh hari saja, Agak berat sesungguhnya meninggalkan kota yang telah membuatku merasa “seperti di rumah sendiri” ini. Seartus dua puluh hari amat sangat kurang bagiku. Tapi aku adalah sosok yang suka untuk “terlihat tegar”. Ketika ada teman yang berseloroh “Kamu pasti bakal kangen buat ke sini lagi” ketika aku akan pergi, aku hanya tersenyum dan membalas “Nggak juga, biasa aja!”. Tetapi benar, tidak sampai seminggu setelah aku meninggalkan Jogja, aku sudah ingin kembali lagi ke kota ini. Aku ini kembali lagi merasakan keindahan kota, keramahan masyarakat, dan keunikan budaya Jogja. Nyananya, Jogja telah berhasil membekas di hatiku.

Itulah hal yang membuat ku mencintai dan bersyukur pernah tinggal di kota yang bermoto “Berhati Nyaman” ini. Apa yang ditawarkan kota ini melalui sikap ramah, keikutsertaan menjaga kelangsungan budaya ini dan juga fasilitas yang memanusiakan manusia sudah sepatutunya menjadi cerminan bangsa ini. Oleh karenya, sudah sepatutnya bahwa menjadi Jogja menjadi Indonesia. Keistimewaan yang kota ini berikan kepada siapapun yang pernah datang menyambanginya sudah sepatutnya menjadikan inspirasi baginya untuk berkiprah bagi kemajuan dan kemaslahatan bangsa Indonesia.


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Soal Argumentative Text dan Kunci Jawabannya (Floating Breakfast)

Halo sahabat kebuncerita apa kabar? Pada kesempatan kali ini, kami akan memberikan contoh soal argumentative text . Contoh soal ini dapat kalian gunakan untuk melatih kemampuan membaca kalian ataupun dapat juga digunakan sebagai bahan latihan membaca murid di dalam kelas. Jangan lupa untuk mencantumkan sumbernya jika kalian ini menggunakan contoh soal reading ini.   Baca Juga:  Contoh Soal Narrative Text dan Kunci Jawabannya (The Man, The Boy and The Donkey) Baca Juga :  Contoh Soal Narrative Text dan Kunci Jawabannya (The Grasshoper and The Toad)   The floating breakfast via https://cococollection.com If you follow luxury resorts or travel influencers on Instagram, odds are good that you have seen at least one "floating breakfast." In case you are not familiar with them, here is what to know: they are your typical upscale hotel room service breakfast -- think toast, fruit, coffee, and the like -- served in a pool or hot tub instead of in bed. Usually, they a...

Batu Badaong || Maluku Folklore

Once there, in a village located in Tanimbar Island (Maluku), there lived a rich man with a wife and 2 children that had already been teenagers. The children were extremely spoiled by their father so that they became lazy conceited children. They lives were so dependent upon other people. There were a lot of servants at their home. One day, the father passed away. Instead of being more mature because of the fact that they had no longer their father around, they were getting more spoiled. Their attitude toward their servants were not getting better. They often said rude words, and because of that all servants in their home felt that they couldn’t stay longer. They felt that they couldn’t accept to be treated in that way. ( To read the st ory in Bahasa Indonesia  click here) Then one day, all the servant left the home. Knowing that she had no longer people that could help her, the mother now took care of all the job at the house. Cleaning, cooking, watering flower, washi...

The Legend of Putri Cermin Cina || Jambi Folklore (English Version)

This Folklore or Cerita Rakyat happened in a place in Jambi Province, Indonesia. The story tells about the life of Putri Cermin Cina. This story is written in English and to read story in Bahasa Indonesia please click here! Long time ago, there was a kingdom in Jambi that was ruled by a king named Sultan Mambang Matahari. Sultan Mambang Matahari had a son named Tuan Muda Selat and a daughter named Putri Cermin Cina. The son of the king was handsome but he was such a reckless boy while the daughter is beautiful. She had a white skin like a Chinese girl and because of the skin she had then she was call “Putri Cermin Cina”. One day, a well-known merchant visited the kingdom. That merchant name was Tuan Muda Senaning. He and his crews visited the kingdom because they had some trade business. The arrival of Tuan muda Senaning was welcome kindly by the king. The king then welcomed Tuan Muda Senaning with a banquette. Together with his son and his daughter, the king asked Tuan mu...