Hembusan udara pagi
menyapa langkah kaki pertamaku saat aku turun dari kereta yang mengantarkanku
dari stasiun ibu kota menuju stasiun di kota yang, selama ini, aku hanya bisa
lihat di dalam video. Aku melihat kanan kiri, membiasakan pandanganku pada kota
yang akan aku jadikan tempat aku belajar dan tinggal selama dua tahun kedepan.
Aku berjalan
menuju pintu keluar stasiun, dan aku dapati senyuman para supir taksi dan
pengendara ojek. “Ah, sudah biasa. Mereka
pasti akan bersikap ramah terhadap bakal penumpangnya” gumamku dalam hati
saat melihat semua dari mereka melemparkan senyum ke arahku. Aku berjalan ke
arah seorang lelaki yang kutaksir berumur lebih dari 40 tahun yang tersenyum
lebar ke arahku. Bukan karena senyumannya aku memilihnya, tapi karena aku tidak
terbiasa dan tidak mau terbiasa untuk melakukan tawar-menawar jika ingin
membeli barang atau menggunakan jasa. Hal yang terkadang membuat ibu ku sedikit
heran karena aku akan membayar berapapun harga yang ditawarkan.
Yogyakarta atau Jogja dengan motonya "Berhati Nyaman" menawarkan keunikan budaya dan kenyamanan kotanya via https://www.pinterest.com |
Semilir angin
pagi dan lenggangnya jalan menyambutku saat motor yang kunaiki mulai menyentuh
hitamnya aspal kota ini. Bapak pengendara ojek pun mulai menanyaiku dengan
pertanyaan klasik seperti “Mau
jalan-jalan ya ke Jogja?”, “Baru pertama kali ya ke Jogja?”, “O, mau kuliah,
kuliah di mana?”. Aku agak malas untuk menjawab pertanyaan pertama yang
diajukan karena rasa lelah yang menghampiri tubuhku setelah melakukan
perjalanan selama kurang lebih delapan jam. Tetapi, sikap ramah yang ditawarkan
saat mengajukan pertanyaan membuatku sungkan untuk tidak menjawab. Dan ahirnya
kami pun terlibat percakapan selama perjalanan.
Roda motor
mulai menelusuri sebuah gang yang terletak tidak jauh dari perempatan yang
masyarakat sekitar sebut dengan nama perempatan Monjali (Monumen Jogja Kembali).
Aku sibuk melihat layar ponselku, mencocokan nomor rumah yang malam sebelumnya
di-sms kan oleh ibu kost. Aku
menemukan nomor rumah yang sama setelah beberapa saat. Sayangnya, pintu gerbang
rumah tersebut tertutup.
Aku pun turun
dari motor yang mengantarkanku. Setelah membayar sejumlah uang yang sudah kita
sepakati sebelumnya dan juga mengembalikan helm yang ku pakai, aku pun berjalan
menjauh sambil sesekali menghubungi nomor ibu kost yang terhubung tetapi tidak
dijawab. Bapak tadi mendekatiku, aku berpikir kalau ongkosku kurang. Tetapi
jawaban yang ia berikan ketika aku utarkan pertanyaan kenapa dia mendekatiku
sungguh membuat ku tercengang “Sudah,
bapak tungguin sampai yang punya kostan keluar”. “Bagaimana mungkin bapak ini mau membuang waktunya menunggu ibu kost. Padahal
bisa saja ia kembali ke stasiun kereta dan mendapatkan penumpang baru”
gumamku. Lima belas menit berlalu ketika ahirnya ibu kost membuka pintu pagar
rumah. Aku pun masuk mengikuti pemilik kost tersebut sambil tak lupa kucapkan “terimakasih banyak” kepada bapak ojek
yang mengantarkanku dan menemaniku menunggu ibu kost.
Itu pengalaman
pertama yang membuatku terpana akan kota Yogyakarta. Selain itu, banyak hal-hal
lain yang membuatku semakin tercengang, bukan karena hal-hal buruk tapi lebih
karena keunikan dan kekhasan kota yang pernah menjadi ibu kota Indonesia ini.
Masih terbesit
di ingatanku, hari itu hari Kamis dan aku menunggu bus Transjogja yang akan mengantarkan
ke kampus nomor wahid di kota pelajar ini. Aku telah terbiasa menaiki armada
yang memiliki moto “Ayo Naik Bus” ini kemana pun aku berpergian di Jogja.
Selain tarif yang sangat murah, bus ini juga akan mengantarkan ku berkeliling
kota Yogyakarta sebelum ahirnya berhenti di halte Koperasi Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada.
Jam pada layar
ponselku menunjukan pukul 05:58 WIB dan dari kejauhan aku sudah melihat bus berwarna
biru. Bus tersebut berhenti tepat di halte. Pandanganku terarah kearah supir
dan kondektur Transjogja ketika aku menaiki bust tersebut. Mereka memakai
pakaian adat Jawa. “Ah mungkin hari ini
hari ulang tahun Transjogja atau hari Kartini” (Padahal saat itu bulan
September). Bus pun melaju melalui rute yang telah ditentukan. Tak ada
penumpang yang naik sampai halte Malioboro 1. Sampai ahirnya di halte Malioboro
3, sejumlah siswa menaiki bus. Lagi-lagi diriku ini dibuat terheran-heran
karena murid-murid tersebut juga memakai pakaian adat Jawa. Dan di halte-halte
selanjutnya pun banyak ibu-ibu pekerja yang aku taksir adalah guru sekolah
memakai pakaian adat Jawa juga.
Tak kuat
menahan rasa penasaran, aku pun mengeluarkan poselku dan mencari informasi
mengenai apa yang aku lihat di internet. Dari internet aku mendapatkan bahwa
setiap hari Kamis Pahing seluruh pelajar dan PNS Yogyakarta wajib memakai pakaian
daerah. Entah kenapa, tiba-tiba saja rasa haru menyelimuti diriku, rasa haru
dan bangga tepatnya. Aku terharu melihat bagaimana masyarakat Jogja berusaha
untuk menjaga keaslian budayanya dan rasa bangga karena aku bisa menjadi saksi
langsung akan usaha tersebut.
Setiap Kamis Pahing, semua pelajar dan PNS Yogyakarta wajib mengenakan pakaian adat via http://www.satuharapan.com |
Sangat banyak
sebenarnya hal yang membuat ku kagum akan kota ini. Mulai dari sikap
masyarakatnya seperti: bagaimana mahasiswa di kota ini sangat menghormati
dosennya, bagaimana masyarakat ini yang hampir tidak pernah tidak melemparkan
senyuman saat bertatap muka, ataupun bagaimana fasilitas yang kota ini tawarkan
seperti tersedianya fasilitas perpustakaan kota yang tidak pernah sepi
pengunjung karena nyamannya tempat membaca dan tersedianya koneksi internet,
banyaknya monumen bersejarah yang terawat dan tak luput dari kunjungan
wisatawan, dan juga tertatanya sistem tranportasi yang lebih baik dibandingkan
dengan beberapa kota lain di Indonesia. Aku sangat jarang melihat angkutan kota
(angkot) di kota ini, dan mungkin karena alasan itu pulalah kemacetan sangat
jarang terjadi di sini. Atapun kalau ada hanya di beberapa titik saja dan hanya
pada waktu-waktu tertentu saja seperti waktu pulang kantor.
Ingin rasanya
aku berlama-lama tinggal di kota ini. Akun yang awalnya berencana untuk tinggal
selama dua tahun, harus membatalkan rencana tersebut karena aku mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke negara lain yang mengharuskan ku untuk
tidak melanjutkan pendidikan di kota ini. Kisah ku di kita gudeg ini hanya cukup
ku ukir tidak lebih dari tiga bulan atau seratus dua puluh hari saja, Agak
berat sesungguhnya meninggalkan kota yang telah membuatku merasa “seperti di
rumah sendiri” ini. Seartus dua puluh hari amat sangat kurang bagiku. Tapi aku
adalah sosok yang suka untuk “terlihat tegar”.
Ketika ada teman yang berseloroh “Kamu
pasti bakal kangen buat ke sini lagi” ketika aku akan pergi, aku hanya
tersenyum dan membalas “Nggak juga, biasa
aja!”. Tetapi benar, tidak sampai seminggu setelah aku meninggalkan Jogja,
aku sudah ingin kembali lagi ke kota ini. Aku ini kembali lagi merasakan keindahan
kota, keramahan masyarakat, dan keunikan budaya Jogja. Nyananya, Jogja telah
berhasil membekas di hatiku.
Itulah hal yang
membuat ku mencintai dan bersyukur pernah tinggal di kota yang bermoto “Berhati
Nyaman” ini. Apa yang ditawarkan kota ini melalui sikap ramah, keikutsertaan
menjaga kelangsungan budaya ini dan juga fasilitas yang memanusiakan manusia
sudah sepatutunya menjadi cerminan bangsa ini. Oleh karenya, sudah sepatutnya
bahwa menjadi Jogja menjadi Indonesia. Keistimewaan yang kota ini berikan
kepada siapapun yang pernah datang menyambanginya sudah sepatutnya menjadikan
inspirasi baginya untuk berkiprah bagi kemajuan dan kemaslahatan bangsa
Indonesia.
Comments
Post a Comment