Jadi hari ini saya (beware if I use “saya” instead of “gue”, it means that the topic I am
going to talk about is a bit serious, but not that serious. No need to fasten
your seat belt lmao! :D) mendapatkan sebuah pengalaman yang sedikit kurang
mengenakan berkenaan dengan pelayanan bus transjogja. Dan semoga tulisan ini
dapat dibaca (berharap :D) oleh petinggi transjogja agar armadanya dapat
berbenah menuju pelayanan yang lebih baik.
Hari ini aku (dan pronoun-nya berubah jadi “aku”) berniat
untuk berangkat ke kampus , UGM, lebih awal dan lebih pagi dari biasanya. Aku
berangkat dari kosan pukul 5 pagi (sangat pagi untuk ukuran mahasiswa
sepertiku). Aku berangkat sepagi itu karena ada urusan yang perlu ku kerjakan,
and you do not have to know what it is
J. Kemudian, aku berjalan ke shelter Monjali 2 (aku biasanya
kalau berangkat ke UGM memakai shelter yang lebih dekat dengan kosan, tapi pagi
ini aku memutuskan untuk memakai shelter Monjali 2 yang jaraknya sekitar 600
meter-an dari kosan.
Layar smartphone
ku menunjukan pukul 5.11 pagi. “Masih pagi, ada yang lewat tidak ya transjogja?”
gumamku. Aku pun memasuki shelter Monjali 2 yang “kosong” tersebut. For your information, di Shelter Monjali
2 tidak terdapat petugas penjaga ataupun palang pintu masuk, jadi jika kita
ingin naik bus dari shelter ini, usahakan kita memiliki kartu transjogja, atau
kartu e-money karena Shelter Monjali 2, menurut hemat saya, adalah shelter portable
sehingga tidak bisa membeli karcis transjogja di sini
Aku pun duduk di kursi panjang yang terbuat dari
lempengan besi yang ada di dalam shelter. Belum lama duduk tiba tiba pandangaku
menangkap sebuah bus transjogja yang melaju dengan kencang dari arah timur. Bus
tersebut tidak berhenti di shelter Monjali 2, padahal jika bus itu mengikuti
prosedur ia harus berhenti di shelter Monjali 2. “Ah biarlah, mungkin masih
pagi. Dan jam di layar smartphone ku
belum menunjukan jam 5.30 yang notabene adalah jam operasional bus transjogja.
Aku pun duduk sambil bermain smartphone. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Di tengah
derasnya guyuran hujan, lagi-lagi aku
melihat bus transjogja kali ini dengan warna yang berbeda, yang pertama
berwarna biru sedangkan yang kedua berwarna hijau, melaju dengan kencang. Dan
lagi, bus ini tidak berhenti barang semenitpun di halte. Aku tertegun, kulirik
layar Smartphhone ku dan belum
menunjukan pukul 5.30. Aku pun berpikir “mungkin kondektur transjogja tidak
melihatku. Mungkin aku harus berdiri dekat dengan pintu naik sehingga diriku
terlihat”.
Aku pun kemudian bangkit dari tempat duduk dan
berjalan menuju pintu keluar-masuk penumpang dari bus transjogja. Aku berdiri
sekitar 5 menit ketika sebuah bus transjogja melintas di hadapanku. Bus itu
tidak berhenti lagi, padahal jelas jelas, langit sudah terang, dan di dalam
shelter juga terdapat lampu penerang. Sangat tidak mungkin bagi mereka untuk
tidak dapat melihatku.
Aku pun mengumpat di dalam hati. Ketika bus yang tidak
sarat penumpang itu telah berlalu dari hadapanku, aku melihat layar smartphone ku. Sudah lebih dari pukul
5.30, seharusnya mereka sudah beroperasi. Aku pun duduk di kursi besi dan
mengeluarkan earphone untuk
mendengarkan musik dari smartphoneku.
Kesal rasanya mendapatkan pelayanan transjogja seperti ini. Sebagai moda
transportasi umum milik pemerintah seharusnya mereka menunjukan
keprofesionalannya.
Aku sedang mendengarkan musik, ketik dari arah timur
aku melihat bus transjogja lagi melaju dengan kencang. Laiknya orang yang
kehilangan harapan, aku tak beranjak dari tempat duduk dan membiarkan saja bus
itu melaju dengan kencangnya tanpa ada niatan untuk mencoba menunjukan pada
mereka kalau ada satu penumpang yang sudah menunggu lebih dari 30 menit untuk
hanya naik bus.
Satu bus pun melintas lagi, dengan kencang lagi, tanpa
berhenti di Shelter Monjali 2. Aku pun berpikir apa memang shelter ini tidak digunakan
lagi. Tapi menurut pengalamanku, bus transjogja akan berhenti barang 15 detik
di setiap shelter yang dilaluinya tanpa terkecuali. Jika keadaanya seperti ini,
ini namanya “diskriminasi shelter”. Terdengar lucu memang, tapi menjengkelkan.
Karena bosan, aku pun berjalan ke pintu shelter dan
bertepat dengan itu, bus melintas dengan agak pelan. Aku pun mencoba
menghentikan bus itu. Bukannya berhenti, bus itu malah terus melaju dengan
kondukter bus menunjuk-tujuk ke arah belakang. Mungkin maksudnya “naik yang
belakang aja.”
Tak tahan lagi, aku pun mengumpat sejadi-jadinya.
Pelayan macam apa ini. Ini transjogja atau kopaja, masa penumpang disuruh naik
bus belakang, padahal saat ku lihat bus itu tidak penuh akan penumpang. Sangat
lebih dari cukup untuk hanya menaikan satu penumpang saja.
Geram, akupun berniat memesan Gojek saja. Ketika hendak memesan tiba-tiba koneksi modem wifiku
mati. “Sial” pikirku. Aku pun mengeluarkan charger dan modem karena aku melihat
ada “colokan” di shelter. Ketika aku sedang mencoclok charger dengan posisi
membelakangi arah datangnya bus, tiba-tiba terdapat suara bus berhenti. Dan
seorang anak sekolah turun dari bus tersebut. Dengan tergopoh-gopoh aku pun
mencapbut charger dari “colokan” dan naik bus tersebut. Aku pun langsung duduk
dan mengeluarkan kartu e-money dan meng “tap” di mesin yang ada di bus
tersebut. Gagal! Mesinnya tidak berfungsi. What
a great day! Pikirku. Tak apa, aku bisa tap kartu di terminal terdekat.
Ketika duduk tiba-tiba pikiranku pun mengembara,
memikirkan kejadian ajaib bus transjogja “mau” berhenti di Shelter Monjali 2.
Apakah mungkin karena ada penumpang yang turun? Apakah kalau tak ada penumpang
yang turun bus itu akan tetap berhenti? Apakah aku ini invisible sehingga tak terlihat oleh kondektur bus-bus sebelumnya?
Apakah ini representasi dari pelayanan publik pemerintahan di Yogyakarta?
Apakah ini pelayanan yang lumrah di kota yang terkenal dengan logonya “Berhati
Nyaman”? Semoga saja tidak. Semoga saja para armada yang melewatiku tadi sedang
galau dan tidak melihat sosok besar ku ini. Dan pun apabila iya, semoga saja ke
depannya armada transjogja bisa berbenah. Jikapun biasanya Shelter Monjali 2
sepi dan jarang akan penumpang, tapi itu bukan alasan untuk melaju kencang dan
tidak berhenti sedikitpun di shelter ini. Kita tidak tahu kapan penumpang akan
menunggu di shelter yang bersebrangan dengan Monumen Jogja Kembali ini. Untung
saya muda, sehinga energipun tak terkuras semua ketika harus menunggu hampir 1
jam di shelter, coba seandainya yang menunggu lansia.
Ahir kata, ini adalah curhatanku tanpa ada niatan
untuk “menjelek-jelekan” suatu layanan publik. Niatanku hanyalah memberi
koreksi saja. Dan terlepas dari kejadian yang tidak mengenakan ini, transjogja
tetap bisa dijadikan andalan transportasi umum jika anda berlibur maupun
tinggal di Jogja.
Have a good day! See you soon.
Comments
Post a Comment