The English version of this story is not available yet!
“Seruni…anakku! Kami akan menolongmu!” sang Ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup - sayup yang menyuruh batu di sekelilingnya untuk merapat dan menghimpitnya.
“Jangan gegabah, Pak. Lubang ini sangat berbahaya!” cegah sang istri.
“Benar Pak, lubang ini sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang tetangganya.
Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah
sepasang suami –
istri dengan
seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik,
Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua
orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan
untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari - hari.
Suatu hari, Seruni harus bekerja di ladang seorang diri karena kedua orang
tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing
peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang Seruni hanya
duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sementara
anjingnya, si Toki, ikut duduk di samping sambil menatap wajah majikannya yang tampak
seperti sedang menghadapi suatu masalah. Sesekali sang anjing menggonggong
untuk mengalihkan perhatian Seruni apabila ada sesuatu yang mencurigakan di
sekitar ladang.
Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini
disebabkan karena sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih
tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan
seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga.
Keadaan ini membuatnya menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, dan mulai
berputus asa. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya,
namun di sisi lain ia juga tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda
pujaan hatinya.
Setelah merenung beberapa saat dan tanpa menghasilkan apa
- apa, Seruni beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Dengan berderai air mata
ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya ia sudah sangat berputus asa
dan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Danau Toba.
Sementara si Toki yang juga mengikuti majikannya menuju tepi danau hanya bisa
menggonggong karena tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam benak
Seruni.
Saat berjalan ke arah tebing di tepi Danau Toba, tiba-tiba ia terperosok ke
dalam sebuah lubang batu besar hingga masuk ke dasarnya. Dan, karena berada di
dasar lubang yang sangat gelap, membuat gadis cantik itu menjadi takut dan
berteriak minta tolong kepada anjing kesayangannya. Namun karena Si Toki
hanyalah seekor binatang, maka ia tidak dapat berbuat apa
- apa kecuali terus - menerus menggonggong di sekitar mulut lubang.
Akhirnya gadis itu
pun semakin putus asa dan berkata dalam hati, “Ah, lebih baik aku mati saja.”
Setelah berkata seperti itu, entah mengapa dinding - dinding lubang tersebut mulai merapat. “Parapat…! Parapat batu!” seru Seruni agar dinding batu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya.
Setelah berkata seperti itu, entah mengapa dinding - dinding lubang tersebut mulai merapat. “Parapat…! Parapat batu!” seru Seruni agar dinding batu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya.
Melihat kejadian itu Si Toki langsung berlari ke rumah untuk meminta
bantuan. Sesampainya di rumah Si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang
kebetulan sudah berada di rumah. Sambil menggonggong, mencakar
- cakar tanah dan mondar - mandir di sekitar majikannya, Si Toki berusaha memberitahukan bahwa Seruni
dalam keadaan bahaya.
Sadar akan apa yang sedang di isyaratkan oleh si anjing, orang tua Seruni segera
beranjak menuju ladang. Keduanya berlari mengikuti Si Toki hingga sampai ke
tepi lubang tempat anak gadis mereka terperosok. Ketika mendengar jeritan
anaknya dari dalam lubang, sang Ibu segera membuat obor sebagai penerang karena hari telah senja.
Sementara sang Ayah berlari kembali menuju desa untuk meminta bantuan para tetangga.
Tak berapa lama kemudian, sebagian besar tetangga telah berkumpul di rumah
ayah Seruni untuk bersama - sama menuju ke lubang tempat Seruni terperosok. Mereka ada yang membawa
tangga bambu, tambang, dan obor sebagai penerangan.
Sesampainya rombongan di ladang, sambil bercucuran air mata Ibu Seruni
berkata pada suaminya, “Pak, lubangnya terlalu dalam dan tidak tembus cahaya.
Saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak kita yang berkata: parapat, parapat
batu…”
Tanpa menjawab pertanyaan isterinya, Ayah Seruni segera melonggok ke dalam lubang dan berteriak, “Seruniii…! Serunii…!”
Tanpa menjawab pertanyaan isterinya, Ayah Seruni segera melonggok ke dalam lubang dan berteriak, “Seruniii…! Serunii…!”
“Seruni…anakku! Kami akan menolongmu!” sang Ibu ikut berteriak.
Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup - sayup yang menyuruh batu di sekelilingnya untuk merapat dan menghimpitnya.
Warga yang hadir di tempat itu juga berusaha untuk membantu dengan
mengulurkan seutas tambang hingga ke dasar lubang, namun sama sekali tidak
disentuh atau dipegang oleh Seruni.
Merasa khawatir, sang Ayah memutuskan untuk menyusul putrinya masuk ke dalam lubang, “Bu, pegang obor ini! Saya akan turun menjemput anak kita!”
Merasa khawatir, sang Ayah memutuskan untuk menyusul putrinya masuk ke dalam lubang, “Bu, pegang obor ini! Saya akan turun menjemput anak kita!”
“Jangan gegabah, Pak. Lubang ini sangat berbahaya!” cegah sang istri.
“Benar Pak, lubang ini sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang tetangganya.
Setelah ayah Seruni mengurungkan niatnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh
dan bumi pun berguncang dahsyat yang membuat lubang secara perlahan merapat dan tertutup
dengan sendirinya. Seruni yang berada di dalam lubang akhirnya terhimpit dan
tidak dapat diselamatkan.
Beberapa saat setelah gempa berhenti, di atas lubang yang telah tertutup
itu muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang
seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Orang-orang
yang melihat kejadian itu mempercayai bahwa batu itu adalah penjelmaan dari
Seruni dan kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung”.
Dan, karena ucapan Seruni yang terakhir didengar oleh warga hanyalah
“parapat, parapat, dan parapat”, maka daerah di sekitar Batu Gantung kemudian
diberi nama Parapat. Kini Parapat telah menjelma menjadi salah satu kota tujuan
wisata di Provinsi Sumatera Utara.
Cerita disadur dari tempat ini!
Comments
Post a Comment